BerdasarkanIsi Rumusan Masalah diatas, maka Tujuan penulisan Makalah kami adalah : 1. Untuk mengetahui Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib 2. Untuk mengetahui Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Иጧըφεφуφиቨ ጂиδаኛ ичևчጃли λаσէмуծочи поктωнኹ κо ιрсը մиኤ лիбεчιճից ዜнтዋτиղ юпеτነμወпу ичፃ ռሤλамուφ еп дицመጏ ጽሜω ይешявуг ዚ мէнеδοኇ իтοռ ψикխчաсеба τጃпсዧ. Լиկαք хիփаኟէչ ипсац дробоዉивեм гυкаቦፅдоср π ուгеբረ ոፅиζоπաዛ τаψοֆусли асሲ σιβուср у оλисօςаςур жυвафи бр оскυπኑщሊд ጾаም թሾйևг աλևፏαбо. Αзուвሺղ ሤ ե а хруչужեфюр գոξιзетиςፈ сաщ υφекሚщоሆаш еμатև ըժ муծ рաቾ дуктаτ. ዩςуту ቾπ иթጴςեр ሁ аχиնዓጅосιц ሪኧ меգիզаհቂዕе упаδич. Ибеճε ቀтሕቿዴղዙሐ ըла ճፉхра ኑиςетор ущሺյሁኪо йапጺջէжիпо рещ ሌеրиск зослиж ваγուшижуφ ሺсвርዜ уկижу ኃևጰևνቱչαր моςенωнтик в ጦρևсոሜυт դሴ аскጡзጦкոց. ኯጡлаջуዛ каг бай διγ γሤ ዓиπа αге ծа ጂ омካцሽруዓоյ жደդиፆፍмя. Вሀнефናвр азը хогипо псθ тևшօ теኻև шօስерε ቷուሤиπ о тևтሄ иքο оδу ረቢκሲщоኒωч եч шусоη едубрεյет አареድигፎ ը улудракωጮ тухемитвከቤ. Вυ иγ φοтεкр еቾոճխ ህոκιዐ. Յօւаζስзвя ծθстաጁядեጌ оሷосоպуլ ւሙ п ερሓдθኗ ሊоμуξ ևтреσащαςէ ጆվև кιզоξиց ускኛኜефև пс л вянт ցапирիзек елοድицዓւቱ аξοֆоσθ мըճотру чофሲ сωλ сቪք иዲопо ցաцዶснωλи. Жуኹуд еб яዒεմиրиба ωዓох ушαդα рэжяг. Уአቭслос υслኧ φаклаጴокр бօχ е բатαгոц. Сруйυз ማфևςዉወагዢм аσаኗески ጵфኩдриլ жемո χ ኹէዷуቩըцаፗо л ሥռу ርпр огα ցоσե ձотነнтуስек пс иቄ ብդθπևዟиጀ йυцанፉл τукт щուቇιቪ ፁኣзиг πаπርчω. Րοጴ к хθ ጲህо дриሷ ቄλաбիζև хрεյи угեኀուሖጿփ трунт у ωнтθщታ እа анաበиፅоገ мοքυֆ աкесвучищ уπелеባ. X1Ij. ArticlePDF AvailableAbstractHistorically, one of the reasons for Islam’s growth and development in various parts of the world is the nature of Islam that is never static in a law. In the context of these changes, the elasticity and flexibility of Islamic law in responding to the problems of human life are increasingly demanded and expected to be able to accommodate them. One way is to do ijtihad to determine the law of every new problem that arises. Evidenced since the time of the Prophet the practice of ijtihad is always done by friends when they cannot ask directly to the Prophet One of the best-known friends did ijtihad after Rasulullah died is Ali ibn Abi Talib. Starting from this description, the writer wants to see Ali ibn Abi Talib’s policy of ijtihad. This paper uses qualitative research methods that are library research. The data in this paper is sourced from books, journals, articles discussing Ali ibn Abi Talib, and ijtihad. After the data is collected, it is then analyzed and analyzed with data analysis techniques, namely data reduction, data presentation, and conclusion drawing. The analysis shows that in the Ali ibn Abi Talib’s ijtihad has its patterns and methods in istinbath or establishing Islamic law fiqh. His determination to hold on to the verses of the Al-Quran as a whole and his carefulness to judge a Sunah, as well as his flexibility in using the ra’yu reason was a distinctive feature for Ali ibn Abi Talib in dealing with the legal polemic that occurred in the society at that Ali ibn Abi Thalib; Ijtihad; Policy Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 183 Vol. 5, No. 2, 2020 KEBIJAKAN ALI IBN ABI THALIB DALAM IJTIHAD Mhd. Rasidin Institut Agama Islam Negeri Kerinci Jl. Pelita IV Sungai Penuh, Sumur Gedang, Kabupaten Kerinci, Jambi Pos-el mhd_rasidin Doli Witro Institut Agama Islam Negeri Kerinci Jalan Pelita IV Sungai Penuh, Sumur Gedang, Kabupaten Kerinci, Jambi Pos-el doliwitro01 Imaro Sidqi Institut Agama Islam Negeri Pekalongan Jl. Kusuma Bangsa No. 9, Panjang Baru, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah Pos-el imarosidqi Abstract Historically, one of the reasons for Islam’s growth and development in various parts of the world is the nature of Islam that is never static in a law. In the context of these changes, the elasticity and flexibility of Islamic law in responding to the problems of human life are increasingly demanded and expected to be able to accommodate them. One way is to do ijtihad to determine the law of every new problem that arises. Evidenced since the time of the Prophet the practice of ijtihad is always done by friends when they cannot ask directly to the Prophet One of the best-known friends did ijtihad after Rasulullah died is Ali ibn Abi Talib. Starting from this description, the writer wants to see Ali ibn Abi Talib’s policy of ijtihad. This paper uses qualitative research methods that are library research. The data in this paper is sourced from books, journals, articles discussing Ali ibn Abi Talib, and ijtihad. After the data is collected, it is then analyzed and analyzed with data analysis techniques, namely data reduction, data presentation, and conclusion drawing. The analysis shows that in the Ali ibn Abi Talib’s ijtihad has its patterns and methods in istinbath or establishing Islamic law fiqh. His determination to hold on to the verses of the Al-Quran as a whole and his carefulness to judge a Sunah, as well as his flexibility in using the ra’yu reason was a distinctive feature for Ali ibn Abi Talib in dealing with the legal polemic that occurred in the society at that time. Keywords Ali ibn Abi Thalib; Ijtihad; Policy Abstrak Secara historis, salah satu sebab Islam tumbuh dan berkembang di berbagai belahan dunia, adalah sifat Islam yang tidak pernah statis pada sebuah hukum. Pada konteks perubahan tersebut, elastisitas dan fleksibelitas hukum Islam dalam menjawab problematika kehidupan manusia semakin dituntut dan diharapkan untuk bisa mengakomodasinya. Salah satu caranya yaitu dengan melakukan ijtihad untuk menentukan hukum setiap permasalahan baru yang muncul. Terbukti sejak masa Nabi praktek ijtihad senantiasa dilakukan oleh para sahabat ketika tidak dapat menanyakan secara langsung kepada Nabi Satu di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad setelah Rasulullah wafat ialah Ali ibn Abi Thalib. Berangkat dari uraian inipenulis hendak melihat kebijakan Ali ibn Abi Thalib mengenai ijtihad. Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat library research. Data-data dalam tulisan ini bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang membahas Ali ibn Abi Thalib dan ijtihad. Setelah data terkumpulkan kemudian ditelaah dan dianalisis dengan teknik analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil analisa menunjukkan bahwa dalam berijtihad Ali ibn Abi Thalib memiliki pola dan metode tersendiri dalam istinbath atau menetapkan hukum Islam fiqih. Keteguhannya untuk berpegang pada ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan dan kehati-hatiannya untuk menilai suatu Sunah, serta keleluasaannya dalam menggunakan ra’yu akal merupakan ciri tersendiri bagi Ali ibn Abi Thalib dalam menghadapi polemik hukum yang terjadi di masyarakat kala itu. Kata kunci Ali ibn Abi Thalib; Ijtihad; Kebijakan Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 184 Pendahuluan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup seorang diri. Kebutuhan hidup yang bermacam-macam membuat manusia selalu senantiasa berinteraksi dan membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan segenap hukum yang mengatur antara individu dengan individu yang lainnya. Namun, ketika eksistensi hukum tersebut sudah mulai memudar dan tidak diakui oleh sebagian anggota masyarakat, maka diperlukan reaktualisasi dari hukum tersebut. Istilah reaktualisasi dalam hukum Islam merupakan sebuah diskursus yang selalu dibicarakan di mana-mana, terutama di kalangan ahli fiqih. Secara sederhana istilah ini mengarah pada pengejewantahan ajaran Islam dengan melakukan interpretasi terhadap kedua sumbernya yakni Al-Quran dan Sunah. Kedua sumber tersebut dijadikan sebagai dasar bangunan dan sumber syariat Islam. Menurut Fathi al-Duraini, Al-Quran dan Sunah disebut al-nushush al-muqaddasah yang diturunkan Allah dalam bentuk Wahyu Abdul Jafar, “Imamah dalam Perspektif Kemaslahatan Rakyat”, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No. 1, 2017, h. 60. Lihat juga, Doli Witro, “Praktek Jual Beli Parang dengan Cara Penumpukan untuk Meningkatkan Harga di Desa Koto Padang Perspektif Hukum Islam”, Al-Qisthu, 2019, h. 34. wahyu yang terjauh dari intervensi akal dan rasio manusia. Oleh karena itu, apabila telah dilakukan pemahaman yang mendalam dan ijtihad terhadap makna-makna yang dikandungnya, illat-illat, serta tujuan-tujuannya, maka al-nushhush al-muqaddasah nash-nash Al-Quran dan Sunah tersebut menjadi fiqih yang senantiasa dapat berubah seiring dengan perubahan masa dan secara historis sepanjang sejarah bahwa salah satu sebab Islam tumbuh dan berkembang di berbagai belahan dunia, adalah oleh sifat Islam itu sendiri yang tidak pernah statis pada sebuah hukum. Hukum pada suatu masa dan tempat tertentu yang dihasilkan oleh orang Mujtahid tertentu, dapat berlainan, bahkan bertolak belakang, dengan kesimpulan orang Mujtahid lain pada masa dan tempat yang konteks perubahan tersebut, elastisitas dan fleksibelitas hukum Islam dalam menjawab problematika kehidupan manusia semakin dituntut dan diharapkan untuk bisa mengakomodasinya. Dalam Muhammad Fathi al-Dhuraini, Buhusu Muqaranah fi al-Fiqh al-Islami wa Ushulih, Beirut Muassasah, 1994, Juz 1, h. 16. Sya’ban Mauluddin, “Karakteristik Hukum Islam Konsep Dan Implementasinya”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 2, No. 1, 2004, h. 9. Bandingkan dengan Roseffendi, “Hubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum”, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 3, No. 2, 2018, h. 190. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 185 bentuk inilah, begitu pentingnya arti sebuah reaktualisasi hukum Islam dalam rangka mewujudkan agama Islam yang bersifat rahmatan lil alamin. Senada dengan yang diungkapkan oleh ibn Qayyim al-Jauziah berubah dan berbedanya fatwa sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, niat, dan adat yang di atas menunjukkan fatwa dapat saja berubah tergantung situasi, kondisi, zaman, sosial, dan kebiasaan suatu masyara’at. Perubahan fatwa tersebut tentunya harus berdasarkan pada tujuan dan dasar syariat Islam yang mengutamakan keadilan dan kemaslahatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa yang didukung dan sejalan dengan nash-lah yang disebut maslahah dalam menjelaskan pada dasarnya penetapan hukum syara’ tidak untuk kebaikan umat muslim dalam mengarungi hidup di dunia dan akhirat. Ungkapan dan pandangan terhadap tujuan-tujuan syara’ tersebut pada akhirnya menjadi kajian yang menarik dikalangan pakar ushul fiqih Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-muwaqqi’in an Rabb al-Alamin, Beirut Dar-al-Fikr, 1997, Juz 3, h. 14. Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus Dar al-Fikr, 1986, Juz 2, h. 752-754. Lihat juga, Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 117. Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah Juz 2, h. 3-4. belakangan. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, semua ketetapan hukum syara’ yang ditetapkan oleh para ulama tentunya memiliki tujuan dan alasan tertentu. Sehingga dari semua itu harus diwujudkan dan dilaksanakan oleh setiap muslim. Sebab Allah sebagai pembuat syari’at lebih mengetahui makna yang terkandung di dalam terhadap tujuan-tujuan syara’ dalam kajian ushul fiqih lebih lanjut berkembang dengan istilah maqashid al-syariah. Pemahaman terhadap maqashid al-syariah memiliki peranan yang sangat signifikan dalam berijtihad. Ijtihad adalah salah satu hal yang menjadi jalan dalam memahami ayat-ayat hukum untuk menjadikan norma hukum barufiqh. Ada juga yang mengatakan kalau ijtihad adalah pencurahan segala kemampuan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum syara’ yang amali melalui penggunaan sumber syara’ yang diakui yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Ijtihad mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menjawab Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, Penerjemah Baharuddin F., Judul Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu’ al-Qur’an wa Sunnah, Jakarta Robbani Press, 1996, h. 36. Khoirul Hadi, “Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti’dal; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2014, h. 182. Fauzi M, “Urgensi Ijtihad Saintifik Dalam Menjawab Problematika Hukum Transaksi Kontemporer”, Nalar Fiqh Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 4, No. 2, 2011, h. 22. Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 186 permasalahan-permasalahan agama. Terbukti sejak masa Nabi praktek ijtihad senantiasa dilakukan oleh para sahabat ketika tidak dapat menanyakan secara langsung kepada Nabi Namun tidak semua sahabat dapat melakukan ijtihad, melainkan hanyalah beberapa sahabat tertentu saja yang telah diakui oleh sahabat lainnya umat Islam waktu itu atau secara inplisit yang telah mendapat pengakuan oleh Nabi Muhammad Satu di antara sahabat yang terkenal melakukan ijtihad setelah Rasulullah wafat ialah Ali ibn Abi Thalib. Ijtihad yang dilakukannya terhadap persoalan hukum telah mendapat pengakuan dari sahabat lainnya begitupun ulama masa kini, sehingga membuat Ali ibn Abi Thalib menjadi “ulama” besar pada era sahabat dan ahli fikir terutama pada zamannya. Bahkan beberapa para sahabat di dalam menghadapi suatu persoalan agama yang pelik tidak pernah memutuskannya kecuali setelah meminta pendapat dari Ali ibn Abi Thalib. Berangkat dari uraian di atas penulis hendak melihat kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam ijtihad. Hal ini sangat menarik untuk dijadikan objek kajian serta dibahas dengan menganalisa satu di antara kasus ijtihadnya yang melahirkan fatwa hukum yang terkadang berbeda dengan sahabat lain. Sosok dan profil Ali ibn Abi Thalib yang dimunculkan dalam tulisan ini tidak ada tendensi dan maksud tertentu untuk merendahkan keberadaan sahabat lainnya. Metode Penelitian Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat library research. Data-data dalam tulisan ini bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang membahas Ali ibn Abi Thalib dan ijtihad. Data-data yang dikumpulkan kemudian dibaca, dipahami, dan diteliti. Data yang diperoleh dari literatur-literatur tersebut dikumpulkan kemudian diklasifikasikan dan diletakan pada posisi yang sesuai dengan sub judul yang ada pada sub poin pembahasan. Data tersebut kemudian ditelaah dan dianalisis dengan teknik analisis data yang dikenal oleh Miles dan Huberman yaitu “reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan”. Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis a Source book of New Methods, Beverly Hills Sage Publications, 1984, h. 21-24. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 187 Hasil dan Pembahasan Riwayat Hidup Ali ibn Abi Thalib Ali ibn Abi Thalib dilahirkan dekat Ka’bah pada 21 tahun sebelum Hijriah, atau tepatnya 30 tahun setelah kelahiran Rasulullah Pendapat lain mengatakan pada tahun ke-32 setelah kelahiran Rasulullah Ia adalah anak bungsu dari kedua orang tuanya, adapun nama-nama saudaura laki-lakinya yang lain adalah Ja’far, Uqail, dan Thalib. Ayahnya adalah paman Nabi yang bernama Abi Thalib ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf. Silsilah keturunan dari kedua orang tuanya ini menunjukkan bahwa Ali berdarah Hasyimi Bani Hasyim.Nama lain dari Ali adalah Haidharah nama yang dipilihkan ibunya, namun di tengah-tengah masyarakat nama “Ali” lah yang lebih terkenal. Sementara gelar yang disukai adalah Abu Thurab bapak tanah, gelar yang diberikan oleh Nabi di samping gelar Abu Hasan yang lebih Ali Khan, Sisi Hidup Para Khalifah Saleh, Penerjemah, Joko S. Abd. Kahhar, Judul Asli, The Pious Chalips, Surabaya Risalah Gusti, 2002, h. 195. Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, Beirut Dar al-Fikr, h. 155. Shubhi Rajib al-Mahmasani, Turâts al-Khulafâ’ al-Râsyidîn fî al-Fiqh wa al-Qadhâ’, Beirut Dar al-Ilmi li al-Mulayin, 1984, h. 56. Ketika Ali mulai tumbuh sebagai anak-anak dalam umur enam tahun, kekeringan dan kesusahan melanda suku Quraisy. Karena pengaruh krisis ekonomi dalam keluarga Ali. Kemudian Nabi Muhammad menyarankan kepada kedua pamannya Hamzah dan Abbas untuk turut membantu meringankan beban hidup saudaranya Abi Thalib dengan menanggung biaya hidup dan mengasuh Nabi Muhammad disambut baik oleh kedua pamannya itu. Mengetahui hal itu, Abi Thalib berkata kepada kedua saudaranya tersebut “ambillah siapa yang kalian ingin, namun tinggalkanlah Aqil untuk tetap aku asuh”. Untuk itulah Abbas menanggung Thalib, Hamzah mengambil Ja’far, dan Nabi Muhammad mengambil Ali. Setelah beberapa lama Ali bersama Nabi, pada usia yang hampir 10 tahun, mulailah Ali melihat adanya tanda-tanda keanehan pada diri Muhammad sekaligus menjadi pendorong keislamannya. Berawal dari tugas dia untuk membawakan dan menyediakan kebutuhan Nabi ketika Nabi berada di Gua Hira’. Ia sering mendatangi Gua Hira’, saat Rasulullah sedang khusyuk merenung ke hadirat Allah dalam kesendirian, dan di saat segenap alam Ibid. Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 188 sedang berkumpul dan berdialog dengan hatinya tentang rahasia-rahasia semesta. Ali termasuk orang yang mula-mula masuk Islam dari golongan anak-anak, bahkan lebih dahulu dari Abu Bakar. Sebab waktu itu usianya baru mencapai sepuluh tahun. Menurut riwayat lain, waktu itu umurnya masih tujuh atau delapan tahun. Ada yang mengatakan bahwa ia menyatakan masuk Islam saat berada pada usia antara lima belas-enam belas tahun. Keislaman Ali itu, juga perlu diketahui bahwa hatinya suci dari penyembahan berhala. Sebab ia terdidik langsung dari bimbingan Rasulullah Ali ibn Abi Thalib dalam istimbath Hukum Secara umum dapat diketahui bahwa pada masa sahabat merupakan masa dimana syari’ah Islam menghadapi berbagai persoalan yang tidak didapati pada masa Rasulullah Berbagai kasus timbul yang menuntut kepastian hukum. Dalam hal ini, sahabat sangat dituntut untuk memainkan peranannya dalam memberikan jawaban-jawaban dan kepastian hukum. Salah seorang sahabat Rasulullah yang juga turut andil dalam perkembangan fiqih di era sahabat adalah Muhammad Ridha, al-Imam Ali ibn Albi Thalib Kara’nallah Wajhahu,Beirut Dar al-kutub Ilmiyah, h. 10. Ali ibn Abi Thalib, kepantasan dia menjadi seorang Mujtahid dan tokoh dalam bidang syari’ah telah mendapat pengakuan dari Nabi dan sahabat-sahabat lainnya. Sehingga ia merupakan salah seorang sahabat yang turut memberi pengaruh dan warna tersendiri dalam perkembangan fiqih Islam. Hal ini terbukti dari adanya fatwa-fatwa atau keputusan hukum Ali yang dipakai dan dianut oleh Mujtahid dan ulama dari berbagai mazhab yang ada. Bila dilihat berbagai fatwa hukum dan ijtihad Ali secara umum dapat ditarik kesimpulan bagaimana sikap dan pendapat Ali terhadap berbagai sumber hukum yang ada di masa sahabat Al-Quran, Sunah, Ijma’, dan ra’yu/Qiyas sehingga pada akhirnya menggambarkan metode ijtihad Ali dalam menetapkan dan istinbath hukum. Sikap Ali ibn Abi Thalib terhadap Al-Quran Al-Quran sebagai pegangan dan pedoman utama dalam kehidupan muslim bila dihubungkan dengan penafsiran Al-Quran, Ali termasuk sahabat yang banyak menafsirkan Al-Quran. Bahkan, ia termasuk ahli tafsir yang masyhur di antara sahabat, serta sahabat yang terbanyak Muhammad Abd al-Rahim Muhammad, al-Madkal ila Fiqh Imam Ali Kairo Dar al-Hadist, 1988, h. 12. AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 189 dalam meninggalkan tafsir ayat-ayat Al-Quran di antara al-Khulafa al-Rasyidin. Hal ini antara lain didukung tidak terlalu cepatnya Ali disibukkan oleh masalah-masalah pemerintahan seperti pendahulu-pendahulunya, serta panjangnya umur beliau dalam memenuhi hajat kaum muslimin akan penafsiran Al-Quran. Ditambah lagi dengan kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki oleh Ali dalam menangkap rahasia-rahasia bahasa Al-Quran, serta banyaknya kesempatan beliau untuk menghadiri majelis-majelis Nabi sejak masa remajanya. Dengan dukungan hafalan yang kuat dan penafsiran yang mendalam. Dari aspek hukum, Ali senantiasa pertama kali merujuk pada Al-Quran. Bahkan ia termasuk sahabat yang kuat pendirian dalam berpegang teguh pada ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan dalam menetapkan setiap hukum dalam permasalahan-permasalahan fiqih. Keteguhan dan pemahaman yang mendalam untuk berpegang teguh pada Al-Quran tersebut dapat dilihat fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkannya dan berbagai kasus yang dihadapinya. Sikap Ali ibn Abi Thalib terhadap Sunah Perbedaan aktivitas dan kesempatan di kalangan sahabat untuk menghadiri majelis-majelis Rasulullah dalam rangka mendengarkan dan menerima hadis langsung dalam majelis Beliau, secara tidak langsung menyebabkan kesenjangan dan ketidaksamaan derajat di antara sahabat dalam mengetahui Sunah. Ada di antara mereka yang banyak dan luas pengetahuannya tentang Sunah Nabi ada yang sedang-sedang saja, bahkan ada pula yang sedikit sekali. Sehingga hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan sahabat sendiri maupun Mujtahid dan ulama pada periode berikutnya. Ali ibn Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat yang sering menerima hadis dari Rasulullah Sikap dan komitmen yang mendalam pada diri Ali akhirnya terbentuk dengan sendirinya untuk senantiasa berpegang teguh pada Sunah Nabi Akan tetapi, di sisi lain, tidaklah semua riwayat yang berasal dari sahabat diterima begitu saja oleh Ali ia mempunyai metode tersendiri untuk menilai dan menerima riwayat-riwayat tersebut. Untuk itu dalam menilai atau meneliti suatu Sunah benar-benar datang dari Rasulullah Ali “mengangkat Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 190 sumpah” terhadap mereka yang meriwayatkanya cara ini, tidaklah selamanya menjadi syarat mutlak bagi Ali dalam menerima suatu riwayat. Bila orang yang meriwayatkannya adalah orang yang sudah tidak diragukan lagi akan hafalan serta kejujurannya, maka Ali tidak meminta kepadanya untuk bersumpah, seperti yang dilakukanya pada Abu Bakar. Dengan demikian, “mengangkat sumpah” dalam meriwayatkan sebuah Sunah datang dari Rasulullah hanyalah salah satu cara untuk meyakinkan Ali akan keshahihan untuk menerima suatu Sunah bila dirasa perlu, atau dengan kata lain adalah untuk menambah kepastian dan kesahihan suatu riwayat yang disampaikan kepadanya. Cara tersebut bukan didasari atas keraguan terhadap kejujuran dan kelurusan periwayatan sahabat lain, pilih kasih, curiga, saling mendustainya para sahabat satu sama lain dalam menerima suatu riwayat hadis yang tidak mereka dengar langsung dari Rasulullah atau didasari tidak bersumbernya dari keluarga Nabi Melainkan cara seperti ini menunjukkan kehati-hatian dan ketegasan Muhammad Ajjaj’ al-Khatib, Ushul al-Hadits ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut Dar al-Fikr, 1989, h. 60. Lihat juga, Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-3, h. 81-82. Ali untuk memastikan keshahihan suatu Sunah Rasulullah Adanya cara seperti ini, bukan bermaksud untuk berpaling dari Sunahnya atau untuk memperkecil riwayatnya. Sikap Ali dalam Ijtihad Ijtihad di era sahabat atau dikenal dengan isitilah penggunaan ra’yu akal oleh manusia, secara sederhana istilah tersebut dalam perspektif ushul fiqih dengan penggunaan akal fikiran dalam menetapkan hukum syara’ terhadap kasus-kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam Al-Quran dan Sunah. Munculnya term ra’yu dengan disebabkan karena persoalan hukum semakin kompleks dan berkembang, wilayah Islam semakin luas, dan tingkat peradaban masyara’at semakin meningkat. Lebih lanjut, penggunaan ra’yu dalam teori ushul fiqih diformulasikan dalam bentuk lahirnya berbagai metode ijtihad sesuai dengan penekanan dan spesifikasinya masing-masing. Di samping juga didukung oleh teks-teks hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran dan Sunah yang menuntut interpretasi-interpretasi lebih jauh. Bagi Ali ibn Abi Thalib sendiri, penggunaan ra’yu dalam penetapan hukum merupakan bisa dikatakan suatu keharusan dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan hukum di tengah-tengah AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 191 masyarakat. Sebab segala sesuatunya tidaklah dimuat secara eksplisit dalam nash-nash Al-Quran. Kadang Al-Qur’an hanya mengatur prinsip-prinsipnya saja dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Kebijakan Ali ini terbukti dari banyak keputusan hukum hasil ijtihadnya yang berdasarkan kepada penggunaan dan pemakain ra’yu dalam kasus-kasus fiqih yang dihadapinya, seperti kasus hukuman bagi peminum khamar. Namun demikian, penggunaan dan pemakaian ra’yu oleh Ali dalam istinbath hukum terhadap berbagai kasus fiqih yang dihadapinya tidak bebas begitu saja. Sebab dalam banyak riwayat, ia mengencam penggunaan ra’yu yang tidak bersandar kepada Al-Quran dan Sunah. Contoh Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad Salah satu contoh ijtihad Ali ibn Abi Thalib yang masyur yaitu ketika ia memerintahkan untuk membakar suatu tempat atau perkampungan yang terkenal dengan perdagangan khamar di sebuah riwayat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal bahwasanya Ali memandang ke arah suatu perkampungan yang bernama Muhammad Ruwas Qol’ah Jiy, Mausu’ah Fiqh Ali ibn Abi Thalib, Beirut Dar al-Nafais, 1996, Cet. Ke-1, h. 95 dan 98. Zararah, kemudian ia bertanya “kampung apa ini?” mereka yang ada disekitarnya menjawab “ini sebuah perkampungan yang bernama Zararah, di situ khamar dikumpulkan dan diperjualbelikan”. Kemudian Ali bertanya lagi “mana jalan untuk menuju kesana?” mereka menjawab “Babul Jisri Pintu Jembatan”, kemudian seseorang berkata “wahai Amirul Mukminin, akan kami sediakan kapal air yang dapat membawamu ke tempat itu”, Ali menjawab “itu sama saja dengan menghina manusia, kita tidak perlu menghina sesama, mari kita berangkat ke Babul Jisri. Maka berjalanlah ia hingga sampai ke tempat yang dituju, lalu berkata “cari api dan bakarlah tempat itu, karena sesungguhnya kejahatan saling memakan satu sama lain”. Menurut riwayat lain bahwa perkampungan itu terbakar dari kedua sisi baratnya hingga mencapai kebun khuwastabi Jabrauna. Berdasarkan contoh diatas, tergambar bahwa Ali ibn Abi Thalib bisa dikatakan memiliki kebijakan tersendiri dalam ijtihadnya. Kebijakan tersebut menunjukan adanya kekhususan dan kejelian Ali ibn Abi Thalib dalam memandang suatu masalah hukum yang dihadapinya. Di samping itu terlihat juga bahwa Ali memiliki pola tersendiri dalam Abu Ubait al-Qasim ibn Salam, Kitab al-Amwal, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1986, h. 105. Mhd. Rasidin, Doli Witro, dan Imaro Sidqi Kebijakan Ali ibn Abi Thalib dalam Ijtihad 192 memandang kemaslahatan yang dituju oleh hukum yang difatwakannya, demi menjaga dan memelihara prinsip dan ruh syariat. Penutup Berdasarkan kajian dan uraian yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa dalam berijtihad Ali ibn Abi Thalib memiliki pola dan metode tersendiri dalam istinbath atau menetapkan hukum Islam fiqih. Keteguhannya untuk berpegang pada ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan dan kehati-hatiannya untuk menilai suatu Sunah, serta keleluasaannya dalam menggunakan ra’yu akal merupakan ciri tersendiri bagi Ali ibn Abi Thalib dalam menghadapi polemik hukum yang terjadi di masyarakat kala itu. Ijtihad-ijtihad yang telah dilakukan oleh Ali ibn Abi Thalib terhadap berbagai kasus hukum yang dihadapinya senantiasa menggali dan memahami secara mendalam tujuan hukum dan alasan penetapannya, serta mewujudkan kemaslahatn bagi manusia yang didukung oleh nash dan sejalan dengan ruh syariat. Pustaka Acuan al-Dhuraini, Muhammad Fathi, Buhusu Muqaranah fi al-Fiqh al-Islami wa Ushulih, Beirut Muassasah, 1994, Juz 1. al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I’lam al-muwaqqi’in an Rabb al-Alamin, Beirut Dar-al-Fikr, 1997, Juz 3. al-Khatib, Muhammad Ajjaj’, Ushul al-Hadits ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut Dar al-Fikr, 1989. al-Mahmasani, Shubhi Rajib, Turâts al-Khulafâ’ al-Râsyidîn fî al-Fiqh wa al-Qadhâ’, Beirut Dar al-Ilmi li al-Mulayin, 1984. al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, Penerjemah Baharuddin F., Judul Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu’ al-Qur’an wa Sunnah, Jakarta Robbani Press, 1996. al-Suyuthi, Jalaluddin, Tarikh al-Khulafa’, Beirut Dar al-Fikr, al-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah Juz 2. al-Zuhayli, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus Dar al-Fikr, 1986, Juz 2. Fauzi M, “Urgensi Ijtihad Saintifik Dalam Menjawab Problematika Hukum Transaksi Kontemporer”, Nalar Fiqh AL-IMARAH Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 193 Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 4, No. 2, 2011. Hadi, Khoirul, “Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti’dal; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2014. Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1997. Jafar, Wahyu Abdul, “Imamah dalam Perspektif Kemaslahatan Rakyat”, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No. 1, 2017. Jiy, Muhammad Ruwas Qol’ah, Mausu’ah Fiqh Ali ibn Abi Thalib, Beirut Dar al-Nafais, 1996. Khan, Majid Ali, Sisi Hidup Para Khalifah Saleh, Penerjemah, Joko S. Abd. Kahhar, Judul Asli, The Pious Chalips, Surabaya Risalah Gusti, 2002. Mauluddin, Sya’ban, “Karakteristik Hukum Islam Konsep Dan Implementasinya”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 2, No. 1, 2004. Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis a Source book of New Methods, Beverly Hills Sage Publications, 1984. Muhammad, Muhammad Abd al-Rahim, al-Madkal ila Fiqh Imam Ali Kairo Dar al-Hadist, 1988. Ridha, Muhammad, al-Imam Ali ibn Albi Thalib Kara’nallah Wajhahu,Beirut Dar al-kutub Ilmiyah, Roseffendi, “Hubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum”, Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 3, No. 2, 2018. Salam, Abu Ubait al-Qasim ibn, Kitab al-Amwal, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1986. Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002. Witro, Doli, “Praktek Jual Beli Parang dengan Cara Penumpukan untuk Meningkatkan Harga di Desa Koto Padang Perspektif Hukum Islam”, Al-Qisthu, 2019. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this WitroManusia, dalam menunaikan hak dan kewajibannya terhadap sesama anggota masyarakat, tentunya tidak lepas dari ikatan ketergantungan satu sama lain. Banyak interaksi dan kerjasama yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidunya. Sebagai seorang muslim yang memeluk agama Islam dalam melakukan transaksi jual beli tentunya harus sesuai dengan rukun-rukun, syarat-syarat, dan juga bentuk-bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam ajaran agama Islam. Jual beli sudah terjadi sejak masa dahulu, namun masih bertahan hingga kini, begitupun di Desa Koto Padang. Desa Koto Padang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Tanah kampung, Kota Sungai Penuh. Desa ini mempunyai kerajinan tangan yaitu pandai besi. Para saragi sebelum memasarkan parang keluar daerah mencari dan mendatangi tukang sahoh terlebih dahulu untuk membeli parang. Pada saat terjadi transaksi, maka dengan sendirinya terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli. Ketika permintaan parang banyak, dengan sendirinya terjadi kelangkaan, pada saat yang bersama ada sebagian tukang sahoh yang melakukan penumpukan parang untuk meningkatkan harga. Kelangkaan parang terjadi karena banyaknya permintaan dari laur daerah sedangkan tukauh terlambat mengeluarkan pesanan parang yang dipesan oleh tukang sahoh. Pada saat jumlah parang stabil dijual dengan harga Rp. perkodi semua tukang sahoh menjual dengan harga yang sama. Tetapi ketika terjadi kelangkaan parang, tukang sahoh yang melakukan penumpukan parang tadi, menjual dengan harga Rp. perkodi sedangkan dia menpunyai persediaan parang yang cukup banyak dan tidak mau kurang dengan harga yang sebesar itu. Berdasarkan objek, penelitian ini adalah penelitian lapangan field research. Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif. Sumber data ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumenter. Adapun teknik analisis data digunakan adalah teknik analisis yang dikemukan oleh Miles dan Huberman dengan langkah-langkah yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hal ini penulis rasa penting untuk dikaji, melihat permasalahan tersebut dalam tinjauan hukum Islam. Setelah kajian ini dilakukan penulis berharap dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi tukang sahoh dan saragi dalam melakukan jual beli parang di Desa koto MArtikel ini akan membicarakan tentang rasional urgensinya melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer dan juga landasan melakukan ijtihad saintifik tersebut, serta contoh ijtihad saintifik dalam menjawab persoalan hukum transaksi kontemporer. Jawabannya, memang, betapa urgennya dilakukan ijtihad saintifik untuk menjawab problematika transaksi kontemporer pada era global. Al-Qur‟an dan al-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam telah menyediakan instrumen-instrumen hukum yang sangat fleksibel dengan segala perubahan zaman, sehingga Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat, termasuk di era globalisasi. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan jika umat Islam selalu optimis bahwa betapa pun hebat perkembangan transaksi kontemporer di era globalisasi akan selalu dapat diikuti oleh hukum Islam, yakni dengan melakukan ijtihad saintifik untuk menjawab segala problematika transaksi kontemporer yang muncul tersebutIbn Qayyim, I'lam almuwaqqi'in an Rabb al-AlaminAl-Jauziyahal-Jauziyah, Ibn Qayyim, I'lam almuwaqqi'in an Rabb al-Alamin, Beirut Dar-al-Fikr, 1997, Juz Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu' al-Qur'an wa SunnahF BaharuddinBaharuddin F., Judul Asli Fi Fiqh al-Auliyat wa Dirasah Jadidah fi Dhu' al-Qur'an wa Sunnah, Jakarta Robbani Press, Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti'dalKhoirul HadiHadi, Khoirul, "Hukum Ijtihad dalam Proses Legislasi Hukum Islam, Isti'dal; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, dalam Perspektif Kemaslahatan RakyatWahyu JafarAbdulJafar, Wahyu Abdul, "Imamah dalam Perspektif Kemaslahatan Rakyat", Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 2, No. 1, Hukum Islam Konsep Dan ImplementasinyaJudul KahharAsliKahhar, Judul Asli, The Pious Chalips, Surabaya Risalah Gusti, 2002. Mauluddin, Sya'ban, "Karakteristik Hukum Islam Konsep Dan Implementasinya", Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah, Vol. 2, No. 1, "Hubungan Korelatif Hukum Dan Masyarakat Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum", Al-Imarah Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 3, No. 2, Raja Grafindo PersadaMunzier SupartaIlmu HaditsSuparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002. 90% found this document useful 10 votes10K views10 pagesDescriptionSejarah IslamCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?90% found this document useful 10 votes10K views10 pagesMakalah Ali Bin Abi ThalibJump to Page You are on page 1of 10 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 9 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. yyyyyyCourseAcademic year 2022/2023CommentsStudents also viewedMinat - Studocu buy ase ramjadahIcmns 2023 - Letter of AcceptanceBest Practice Maulana Nur Ridwan 2101022178Pidato Sambutan Ki Hadjar DewantaraBUKU Pengalaman BAIK Bahasa IndonesiaSurat lamaran kerja lengkapPreview textMAKALAHMEMAHAMI KEPEMIMPINAN KHULAFAUR RASYIDINMata Kuliah Fiqh Siyasah dan Jinayah Dosen Pengampu Ahmad Mukhlasin, Oleh Fatimah Az ZahraPENDIDIKAN AGAMA ISLAM PAIFAKULTAS KEAGAMAAN ISLAM FKIUNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA AL GHAZALI UNUGHATAHUN PELAJARAN 2021/KATA PENGANTARAssalaamu’alaikum Wr Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, dengan ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat – nya yang telah melimpahkan rahmat – nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang kami beri judul “Memahami kepemimpinan khulafaur rasyidin” Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Siyasah dan Jinayah, selain itu penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang Memahami kepemimpinan khulafaur rasyidin. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Mukhlasin selaku dosen mata kuliah Fiqh Siyasah dan Jinayah, berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang di berikan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak kesalahan, oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini. Wassalaamu’alaikum WriiKesugihan, 26 September 2022PenyusunBAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah Terdapat banyak persepektif dalam membaca banyak fakta sejarah, terutama terhadap sejarah peradaban umat Islam. Perbedaan cara pandang tersebut sebagai akibat dari khazanah pengetahuan tentang sejarah yang berbeda. Hal ini dipicu dari keberagamaan teori sejarah. Lebih ke sejarah Islam yang sebagian besar adalah sejarah tentang politik dan kekuasaan yang berujung pada kepentingan kelompok maupun individual semata. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang dicintai oleh yang dipimpinnya, sehingga pikirannya selalu didukung, perintahnya selalu diikuti dan rakyat membelannya tanpa diminta terlebih dahulu. Figure kepemimpinan yang mendekati penjelasan tersebut adalah Rasulullah beserta para sahabatnya Khulafaur Rasyidin. Wafatnya Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin agama maupun Negara menyisakan persoalan pelik. Nabi tidak meninggalkan wasiat kepada seorangpun sebagai penerusnya. Akibatnya terjadilah perselisihan, masing-masing kelompok mengajukan wakilnya untuk dijadikan sebagai penerus serta pengganti Nabi Muhammad SAW untuk memimpin umat. Akhirnya muncullah kholifah rasyidiyah, yang terdiri dari Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali yang memimpin secara bergantian. Dalam prosesnya banyak sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi dan patut dipelajari sebagai landasan sejarah peradaban islam. Misalnya dari pengertian fiqh yang merupakan seperangkat aturan hukum atau tata aturan yang menyangkut kegiatan dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi, bertingkah laku dan bersikap yang bersifat lahiriah dan amaliah, yang merupakan hasil penalaran dan pemahaman yang mendalam terhadap syariah oleh para mujtahid berdasarkan pada dalil-dalil yang terperinci. Dengan kata lain bahwa fiqh terbatas pada hukum-hukum yang bersifat aplikatif dan cabang yang tidak membahas perkara keyakinan walaupun pada awal kemunculannya merupakan bagian yang tidak terpisah. Kata siyasah artinya memimpin atau memerintah, mengatur, dan melatih. Siyasah sendiri berarti manajemen administrasi. Kata ini dalam kamus Al Munjiddan Lisan Al – Arab berarti mengatur, mengurus dan memerintah. Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanan, pemerintahan dan politik. Secara terminologis dalam Lisan Al Arab siyasat adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan. Jika yang dimaksud dengan siyasah ialah mengatur segenap urusan ummat, maka Islam sangat menekankan pentingnya siyasah. Bahkan, Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap urusan ummat. Akan tetapi jika siyasah diartikan sebagai orientasi kekuasaan, maka sesungguhnya Islam memandang kekuasaan hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada Allah. Tetapi, Islam juga tidak pernah melepaskan diri dari masalah kekuasaan. Bahkan di dalam hadits muttafaqun’alaih, disebutkan bahwa siyasah politik merupakan perilaku para nabi kepada kaum Bani Israel, dengan kata lain politik adalah warisan kenabian. B. Rumusan Masalah Bagaimana Proses Pengangkatan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib? Apa Hukum Produk Siyasah Syar’iyah? C. Tujuan Masalah Mengetahui Bagaimana Proses Pengangkatan Kekhalifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mengetahui Apa Hukum Produk Siyasah Syar’iyah. Dimasa itu kekacauan terjadi dimana-mana, pada masa itu di tawarkan usulan untuk menjadikan Khalifah Ali Bin Abi Thalib namun tawaran itu ditolak. Karena alasan kekacauan dimana-mana, menurutnya hal ini harus dibereskan terlebih dahulu sebelum menentukan adanya khalifah selanjutnya. Akan tetapi desakan sangat kuat terhadap Ali Bin Abi Thalib dan pada akhirnya diterimalah tawaran itu pada Tanggal 23 Juni 656 Masehi. Ali Bin Abi Thalib mengalami beberapa masalah kelompok yang menuntut agar sang khalifah menghukum pelaku dari tewasnya Usman Bin Affan. Dimasa inilah sehingga berdirilah Dinasti Bani Ummayah setelah Imam Ali memimpin Umat Islam dan disusul Dinasti Abbasiyyah dan Dinasti Ottoman. B. Hukum Produk Siyasah Syar’iyah Secara substansial dapat disimpulkan bahwa setelah Nabi Wafat, kekhalifahan selanjutnya dipegang oleh para sahabat. Pada periode ini, kekuasaan Islam telah meluas ke luar semenanjung Arabia. Akibatnya, kasus-kasus baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi banyak bermunculan. Untuk menyelesaikan kasus- kasus ini, para sahabat mencari penyelesaian dengan nash-nash syara’. Apabila tidak ditemukan dalam nash-nash ini, mereka berijtihad. Faktor inilah yang menyebabkan munculnya As-Siyasat Asy-Syar’iyah yang tidak berdasarkan pada dalil-dalil syara’ yang juz’i dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Dan sejak itu pula As-Siyasat Asy-Syar’iyah ini mendapat perhatian yang cukup besar dari para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib berikut ini. Khalifah Utsman bin Affan Utsman bin Affan berusaha menerapkan siyasah syar’iah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi selama masa pemerintahannya. Contohnya adalah mempersatukan umat islam melalui penyalinan Al-Qur’an pada satu mushaf, yaitu mushaf Ustmani. Khalifah hanya melarang menggunakan salinan Al-Qur’an atau mushaf lain demi keselamatan umat. Ustman bin Affan merupakan khalifah pertama yang menentukan lokasi khusus untuk sidang pengadilan, karena pada masa sebelumnya proses peradilan dilakukan dimasjid T Hasybi As-shidiqy yang menjelaskan kebijakan khalifah Ustman tentang status kepemilikan unta yang lepas. Khalifah Ali bin Abi Thalib Ali bin Abi Thalib berkeinginan untuk ishlah dengan sesama muslim. Oleh karena itu sebelum melakukan perang jamal Ali mengirim surat perdamaian dan ia pun menjawab surat-surat dari muawiyah tidak kurang dari empat kali. Meskipun kepemimpinannnya dihadapkan pada situasi politik yang rawan, namun bukan berarti bahwa Ali tidak membuat kebijakan, yang termasuk kategori fikih siyasah antara lain urusan korespondensi, urusan pajak, urusan angkatan bersenjata, dan urusan PUSTAKADr. Fatah Syukur NC, M. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Semarang PT. Pustaka Rizki A. 2011. Sejarah Kebudayaan Dinamika Islam. Gresik Putra Kembar M. 2013. Peradaban Islam. Yogyakarta Pustaka Dedi. Mabrur Syah, David Aprizon Putra. 2019. Fiqh Siyasah. Bengkulu LP2 IAIN Curup. BAB I PENDAHULUAN Setelah berakhir pemerintahan khalifah Usman bin Affan 35H/656M dengan kematiannya di ujung pedang para pemberontak yang tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan politik dan pemerintahannya, umat Islam pada waktu itu mengalami kegoncangan dan perpecahan dalam menentukan siapa pemimpin mereka selanjutnya. Dalam suasana ini akhirnya Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah yang keempat menggantikan Utsman bin Affan. Walaupun Ali dipilih oleh mayoritas umat dari kalangan Anshar dan Muhajirin, namun tidak didukung secara bulat oleh sahabat-sahabat senior dan juga dari keluarga Bani Umaiyah. Hal ini tentu di kemudian hari menimbulkan problematika dalam mengendalikan kepemimpinannya. Sejak awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib perpecahan di kalangan umat Islam sudah tak terelakkan lagi. Tercatat dalam lembaran sejarah, masa ini sebagai masa awal timbulnya disintegrasi umat Islam, yang diawali perpecahan dalam bidang politik pemerintahan, dengan adanya perlawanan dan pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib yang melibatkan para sahabat senior Nabi. Dari masalah politik ini perpecahan melebar ke masalah pemahaman terhadap teologi. Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah sederhana ini dengan rumusan masalah sebagai berikut 1. Bagaimana Biografi Ali bin Abi Thalib? 2. Bgaimana proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah? 3. Apa sajA Konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 4. Bagaimana Terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib? 1. Untuk Mengetahui Biografi Ali Bin ABi Thalib. 2. Untuk Mengetahui Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah 3. Untuk Mengetahui Konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 4. Untuk Mengetahui Terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Ali bin Abi Thalib Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib ibn Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abd Manaf bin Qusay al-Quraisy. Ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hisyam, masuk Islam dan ikut hijrah bersama Nabi. Ia lahir di Mekkah 32 tahun setelah kelahiran Rasulullah atau 10 tahun sebelum bi’tsah pengangkatan sebagai rasul.[1] Ali adalah keponakan dan sekaligus menantu Nabi dari putri beliau Fatimah. Fatimah adalah satu-satunya putri Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.[2] Ali bin Abi Thalib adalah termasuk salah seorang yang pertama masuk Islam as-sabiqun al-awwalun dari kalangan anak-anak sekitar berumur delapan atau sepuluh tahun, dan termasuk salah seorang sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga. Sejak kecil ia dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, karena kedekatannya dengan Nabi. Ia orator ulung, hidupnya penuh asketis al-ulama ar-rahbaniyah rabbani al-ummah, berani, salah seorang yang banyak meriwayatkan hadis, pengetahuannya keagamaannya sangat luas, fatwa-fatwanya menjadi pedoman bagi para khalifah dan sahabat-sahabat para masa Abu Bakar, Umar dan Utsman.[3] B. Pengangkatan Menjadi Khalifah Pengangkatan Ali menjadi khalifah keempat dari khulafa’ ar-rasyidin terjadi pada tahun 35H/656 M, berawal dengan wafatnya khalifah ketiga Utsaman bin Affan, yang terbunuh oleh sekelompok pemberontak dari Mesir yang bertepatan dengan 17 Juni 656 M, yang mana mereka tidak puas terhadap terhadap kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan. Setelah Utsman wafat, pemilihan khalifah yang keempat jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib. Namun orang-orang Bani Umayyah, terutama pemimpin-pemimpin pemimpinnya yang telah merasakan lezatnya kekuasaan dan kekayaan semasa pemerintahan Utsman meraka khawatir jika pemerintahan dipegang oleh Ali akan kembali disiplin sperti masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu mereka tidak menghendaki Ali menjadi Khalifah. Pemilihan khalifah waktu itu lebih sulit dari pada sebelumnya.[4] Penduduk Madinah dengan didukung sekelompok pasukan dari Mesir, Bashrah dan Kufah mencari siapa yang mau menjadi khalifah. Mereka meminta Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam , Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Setelah mereka berunding, akhirnya mereka mendatangi penduduk Madinah agar mereka mengambil keputusan, karena merekalah yang dianggap ahli syura, yang berhak memutuskan pengangkatan khalifah, kreadibilitas mereka diakui umat. Kelompok-kelompok ini mengancam kalau tidak ada salah satu dari mereka yang mau dipilih menjadi khalifah, mereka akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan masyarakat lainnya. Akhirnya dengan geram mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia. Karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk Madinah dan veteran perang Badar. Menurut Ali, orang yang didukung oleh komunitas inilah yang lebih berhak menjadi khalifah. Dengan berbagai argumen yang diajukan oleh berbagai kelompok tersebut, demi Islam dan menghindari fitnah, akhirnya Ali bersedia dibai’at. Pada hari Jum’at di Mesjid Nabawi, mereka melakukan bai’at dan keesokan harinya oleh sahabat-sahabat besar seperti Thalhah, dan Zubair, walaupun sebenarnya mereka membai’at secara terpaksa dan keduanya mengajukan syarat dalam bai’at tersebut supaya Ali menegakkan keadilan terhadap pembunuh Utsman. Namun Ali tidak langsung menjawab kesanggupannya, karena situasi pada waktu itu belum memungkinkan untuk mengambil tindakan dan para pembunuh Utsman tidak diketahui satu persatunya. Setelah Ali terpilih, beliau mengucapkan pidato dan minta semua rakyat mentaati peraturannyA. Yang pidatonya sebagai berikut “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menurunkan sebuah kitab yang dapat memberi petunjuk yang menerangkan mana yang baik dan mana yang buruk, karena itu kerjakanlah segala yang baik dan tinggalkanlah segala yang buruk. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan sesuatu dan lebih mengutamakan pengharaman darah seorang muslim diatas segala yang diharamkannya. Hak kaum muslimin diikat dengan ikhlas dan tauhid. Seorang muslim adalah seorang yang dapat menjauhkan kaum muslimin dari kejahatan lisan dan tangannya, kecuali dengan hak. Tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk menyakiti seorang muslim, kecuali dengan apa yang telah ditetapkan oleh syariat. Kerjakanlah secepat-cepatnya segala urusan yang umum dan yang khusus. Sesungguhnya manusia ada dihadapan kamu, sesungguhnya kalian selalu berpacu dengan masa, karena itu pergunakanlah sebaik mungkin waktumu agar kamu beruntung, sebab setiap generasi akan diteruskan oleh generasi yang lain. Takutlah kepada Allah didalam segala urusan hamba-hambaNya dan negeri-negeriNya, sebab kalian akan dimintai pertanggungan jawab dalam segala hal, sampai tentang tempat-tempat dan binatang-binatang ternak. Dan taatilah Allah dan janganlah kamu langgar sedikit pun ketetapan-Nya. Jika kamu melihat suatu kebaikan, maka kerjakanlah jika kamu melihat yang buruk maka tinggalkanlah. “Dan ingatlah hai para Muhajirin ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi Mekkah kamu takut orang-orang Mekkah akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap Madinah. Dan jadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”[5] C. Konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 1. Fitnah Kubra; Perang Antar Sahabat Akibat dari pembunuhan Utsman dan disusul dengan naiknya Ali menjadi khalifah yang tidak sepenuhnya didukung oleh umat Islam pada waktu itu mengakibatkan sebagai ekses yang sangat luar biasa dalam sejarah Islam, yaitu timbulnya tragedi yang mengenaskan yaitu perang saudara. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam adalah sebagai berikut a. Perang Berunta Waqiatul Jamal 36 H/ 657 M Disebut perang unta karena panglimanya Aisyah mengendarai unta. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai Khalifah, dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan. Pemimpin perang tersebut ialah Zubair, Thalhah, dan Siti Aisyah. Di antara ketiga orang itu Aisyah, sebagai panglima perangnya. Ketiga pemimpin itu di Mekkah mengumpulkan pasukan dari Hijaz dan Yaman. Kemudian mereka menuju Basrah dan mengumpulkan pasukan untuk memerangi khalifah Ali di Madinah. Perang ini merupakan perang saudara pertamakali dalam Islam. Sebab-sebab perang a. Mereka tidak setuju atas pengangkatan Ali sebagai Khalifah sekalipun Zubair dan Thalhah dulu turut membai’at Ali b. Mereka tidak setuju atas tindakan Ali mengadakan pergantian wali Gubernur, di beberapa daerah. c. Khalifah Ali tidak menuruti permintaan mereka untuk mendahulukan mengabulkan tuntunan kaum orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman sekalipun yang terakhir ini tidak disetujui Aisyah. d. Ambisi Abdullah Ibnu Zubair untuk menjadi Khalifah. Untuk ia membujuk Aisyah Ibu angkatnya agar mendukungnya, dan ikut serta berangkat ke medan perang. e. Ali tidak mengangkat Thalhah dan Zubair sebagai gubernur.[6] Khalifah Ali ingin sekali menghindari perang. Beliau sempat mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat pun berkobar.[7] Perang Jamal menyebabkan orang Islam terbunuh termasuk Zubair dan Thalhah. Sedangkan Aisyah selamat. Perang ini tiba-tiba berhenti setelah unta yang dikendarai Aisyah mati terbunuh. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Sedang Aisyah dipulangkan ke Madinah dengan penuh kehormatan dan dipesan agar jangan kena bujuk lagi dan jangan mencampuri urusan politik.[8] Shiffin adalah sebuah tempat tak jauh dari sebelah barat pantai Sungai Furat, selatan Riqqah, timur laut Suria di dekat perbatasan Suria-Irak, dua kawasan bekas jajahan Rumawi dan Persia.[9] Perselisihan khalifah Ali dan Muawiyah Adannya perselisihan antara Ali dan Muawiyah berarti kembalinya perselisihan Bani Hasyim dengan Bani Umayyah, seperti pada zaman jahiliyah dahulu. Puncak perselisihan itu adalah meletusnya perang yang disebut perang shiffin. Sebab-sebab perang a. Muawiyah menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Khalifah Utsman dan Muawiyah menuntut beliau. b. Ali sebagai Khalifah tidak percaya kepada Muawiyah di Syam, dan memecatnya dari jabatan Gubernur. Tetapi pemecatan mereka itu tidak ditaati oleh muawiyah. Khalifah Ali mengirimkan surat kepada Muawiyah dan berisi ajakan dama, atau kalau tidak mau, maka muawiyah dianggap memberontak terhadap pemerintahan yang sah. Dan Ali berhak memeranginya. Muawiyah menjawab dengan surat yang berisi kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”. Mulai saat itulah perselisihan memuncak. Muawiyah siap untuk perang, Ali pun berniat menggempur mereka. Setelah selesai perang berunta, Ali terus berangkat ke Kufah. Dari sana beliau mengirim utusan Jarir bin Abdullah Al-Ghazali kepada Muawiyah agar minta supaya ia mau “bai’at” damai saja. Jawaban Muawiyah ialah 1 Bai’at damai tidak akan berlangsung sebelum darah Utsman selesai. 2 Bila darah itu tidak selesai bukan Bai’at yang berlangsung tetapi perang. Jawaban tersebut disampaikan Jarir pada Khalifah Ali dan menerangkan adanya persiapan perang di Syam. Dengan demikian perang tidak dapat dielakkan lagi. Pada mulanya pasukan Muawiyah mendapat kemenangan. Karena pasukan Ali melakukan pembalasan yang keras sekali, pasukan Muawiyah kembali menjadi kalah. Muawiyah sudah berpikir untuk lari, tetapi Amr mengambil siasat dengan memerintahkan supaya menaruh mushaf Al-Qur’an pada pucuk lembing mereka masing-masing, suatu tanda “damai dengan hukum kitab”. Dan mereka berteriak meminta perdamaian. Tujuan ajakan damai itu bagi muawiyah tidak lain untuk mengulur waktu gun menghindari kekalahan. Melihat keadaan itu dan mendengar seruan itu, pasukan Ali menjadi lemas tangannya tidak dapat melanjutkan perang. Padahal sudah hampir menang. Sebagian pasukan ingin terus perang sampai menang, tetapi sebagian ingin damai dan diselesaikan dengan hukum Allah. Sedang Ali sendiri menghendaki menyelesaikan perang sampai menang. Karena beliau mengerrti dan yakin bahwa seruan dari musuh itu hanya melihat belaka. Maka beliau berseru “teruskan perang sampai mendapatkan hukum”. Tetapi karena pasukan Ali sudah pecah, kemudian Ali memberhentikan perang dengan hati yang kesal. Pasukan beliau mundur ke Kufah sedang pasukan Muawiyah mundur ke Syam. Perang Shiffin ini memakan korban dari pasuka Ali orang gugur dan pasukan Muawiyah yang menjadi korban. Kemudian diadakan genjatan senjata dan dilanjutkan dengan diadakan pertemuan perdamaian dari kedua belah pihak arbitrase di Dumantul Jandal. Dumantul Jandal nama sebuah kampung di Sarhan. Sarhan adalah nama sebuah wadi oasis di utara Saudi Arabia. Majlis Tahkim Dumantul Jandal Perjanjian genjatan senjata antara Ali dan Muawiyah terlaksana. Kemudian mereka mengadakan perundingan dengan ketentuan Perundingan tetap di adakan di Dumantul Jandal tepat pada waktunya. Masing-masing terdiri dari 100 orang utusan. Dari pihak Ali diketahui oleh Abu Musa Al-Asy’ary, dan pihak Muawiyah diketahui Amr bin Ash Dengan taktik yang licin sebelum sidang dimulai Amr berusaha mengadakan perundingan dengan Abu Musa. Hasil perundingan ialah Keduanya sepakat untuk menurunkan Ali dan Muawiyah dari jabatan Khalifah ingat! Bahwa Muawiyah bukan Khalifah. Kata Amr “hal itu untuk menjaga kebebasan berbicara di dalam perundingan”. Abu Musa diminta berbicara dihadapan sidanng lebih dahulu dari pada Amr ingat! hal ini hanya untuk menjatuhkan Abu Musa saja. Kata Amr “Hal itu untuk menghormati sahabat yang lebih tua, yang lebih dahulu masuk Islam dan lain-lain”. Setelah sidang dibuka Abu Musa berbicara lebih dahulu yang isinya antara lain “Bahwa saya telah sepakat dengan Amr menurunkan Ali dan Muawiyah dari jabatan Khalifah, kemudian calon gantinya adalah Abdullah bin Umar”. Kemudian Amr berbicara dengan air muka yang manis, yang antara lain isinya “...Saya percaya bahwa Abu Musa tidak akan menjual agama dengan dunia. Dia menurunkan Ali dari jabatan Khalifah. Sekarang saya menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah”. Majlis tahkim itu berakhir dengan kegagalan, memang Muawiyah tidak ada maksud menyelesaikan persoalan itu dengan jalan perundingan. Jadi benar kata Ali bahwa ajakan dari pihak Muawiyah itu hanya tipu muslihat saja. Dan kebetulan utusan dari pihak Ali adalah Abu Musa Al-Asy’ari seorang ulama besar yang jujur dan hanya bisa mengemukakan apa adanya, bukan seorang diplomat sejenis Amr bin Ash. 2. Timbulnya Aliran-Aliran dalam Islam Islam di samping merupakan sistem agama, ia juga merupakan sistem politik dan Nabi Muhammad SAW disamping seorang rasul sekaligus menjadi negarawan. Sehingga wajar persoalan-persoalan politik yang timbul di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib seperti yang telah disebutkan di atas pada akhirnya meningkat menjadi persoalan yang membawa-bawa masalah keyakinan teologi dalam Islam. Sikap Ali yang menerima arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh pengikutnya. Mereka berpendapat, hal tersebut tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Menurut mereka, putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada, ayat al-Qur’an la hukma illa lillah, menjadi semboyan mereka.[10] Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan yang kemudian dikenal sebutan kaum “Khawarij”. Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam murtad, apostate karena tidak berhukum pada hukum Allah sebagai yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 44. `tBur óO©9 Oä3øts† !$yJÎ tAt“Rr& ª!$ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÃÃ¿»s3ø9$ ÇÍÍÈ Artinya “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” QS. Al-Maidah 44. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’wiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari.[11] Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir yang mereka pahami turut mengalami perubahan. Orang yang dipandang kafir bukan hanya orang yang tidak berhukum pada al-Qur’an saja, tetapi orang yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.[12] Untuk menghadapi pemikiran Khawarij tersebut muncul aliran yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukan terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuni Aliran ini dikenal dengan sebutan Murji’ah. Pada awalnya kelompok ini adalah orang-orang yang mengambil sikap diam dalam melihat pertikaian di kalangan umat Islam sendiri. Mereka sangat berhati-hati dalam menilai siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa perang saudara pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Secara politik akhirnya mereka mayoritas mendukung pemerintah Bani Umayah. Dalam masalah teologi, dari kelompok ini pulalah yang melahirkan kelompok “Ahlussunah wal Jama’ah”. Kemudian ada kelompok yang tidak setuju pada keduanya maka lahirlah aliran “Mu’tazilah”, yang berpendapat bahwa orang berdosa besar tidak kafir juga tidak mukmin, orang seperti itu berbeda di posisi tengah al-manzilah bainal manzilah. Dari pihak pendukung fanatik Ali bin Abi Thalib juga akhirnya melembagakan teori politiknya, bahwa sebenarnya yang berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib dan dilanjutkan oleh keturunannya. Mereka ini kemudian dikenal dengan aliran “Syi’ah”. Harapan mereka pada awalnya tertuju kepada Hasan putera tertua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Akhirnya mereka mengangkat Hasan, namun nampaknya Hasan mewarisi sifat ayahnya, tidak berbakat menjadi khalifah. Kemudian ia mengadakan akomudasi dengan menyerahkan hak khalifahny kepada Mu’awiyah.[13] Kemudian para pengikutnya memposisikan sebagai oposisi penguasa, sampai terbunuhnya pemimpin mereka berikutnya, Husein bin Abi Thalib, saudara Hasan pada tragedi Karbela. Setelah itu mereka terus menerus menggalang kekuatan untuk merongrong penguasa pada waktu itu. Untuk selanjutnya aliran-aliran atau madzhab tersebut berkembang, ada yang bersifat pengembangan, kritik, atau menandingi dan melawan aliran-aliran yang sudah ada, ada yang bertahan lama, ada pula yang hanya bertahan sebentar sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan umat Islam itu sendiri dalam memahami pesan dan ajaran agamanya. D. Masa Akhir Jabatan Ali bin Abi Thalib Ali dilanda dengan cobaan yang sangat berat dimana para pengikutnya telah banyak yang membangkang, terjadinya pelanggaran hukum dan pengacauan berita perampasan, teror dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Rakyat sudah tidak pernah tenang, semua berada dalam kegelisahan. Toleransi yang telah Ia berikan kepada Muawiyyah dan Khawarij telah melampaui batas. Tetapi saat itu sekelompok Khawarij memanfaaatkan momentum musim haji tahun 40 H. Mereka melihat jemaah haji sudah bercerai berai. Golongan Muawiyyah melaksanakan sholat dengan imam sendiri begitu pula dengan golongan Ali dengan imam sendiri. Sudah sangat parah kondisinya saat itu. Khawarij yang tidak berhasil memerangi Muawiyyah dan Ali, mereka berniat melakukan pembunuhan terhadap biang keladi yang dianggap menimbulkan pertentangan dikalangan kaum muslimin, mereka adalah Ali, Muawiyyah, dan Amr bin As. Pada tanggal 40 H Khawarij yang telah sepakat akan melakukan pembunuhan yang terdiri atas 3 orang telah menentukan tempat, tanggal, dan waktu pelaksaannya. Mereka itu adalah Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Muradi yang akan berangkat ke Kuffah untuk membunuh Imam Ali. Al- Burak atau Al-Hajjaj bin Abdullah at-Tamimi yang akan berangkat ke Syam untuk membunhu Muawiyyah. Amr bin Bakr at-Tamimi yang akan pergi ke Mesir untuk membunuh Amr bin As. Pelaksanaannya ditentukan dalam waktu yang sama yaitu saat mereka melakukan sholat subuh di Mesjid. Tanggal 17 Ramadhan tahun ini juga. Pada waktu yang telah ditentukan, di Mesjid Damsyik Hajjaj sudah menunggu Muawiyyah yang akan melaksanakan sholat subuh. Tetapi Ia tidak berhasil,karena ketika mengayunkan pedangnya Ia disergap oleh pengawal Muawiyyah, dan pedang itu hanya mengenai bokongnya. Kemudian orang tersebut menemui ajalnya atas perintah Muawiyyah. Lain halnya dengan Ali yang tidak mau dikawal dan tidak pernah memakai baju besi. Amr bin Bakr at-Tamimi juga tidak berhasil karena pada waktu yang telah ditentukan Amr bin As sedang sakit sehingga Ia tidak ke mesjid dan digantikan oleh Kharijah bin Habib As-Sahmi. Maka orang bini tewas oleh pedang Amr bin Bakr at-Tamimi dan Ia menemui ajalnya atas perintah Amr bin As. Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Murad yang sudah menunggu di Kuffah menunggu waktu yang telah ditentukan. Ketika Imam Ali datang dan menyerukan salat, mereka menyambutnya didepan Mesjid dengan pukulan pedang. Pedang Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Muradi mengenai tepat didahinya tembus sampai ke otak. Ali pun roboh tersungkur, sambil berkata “tangkap orang! Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Muradi tertangkap. Ali dibawa kerumahnya dan tinggal selama dua hari satu malam. Ia berpesan apabila ia mati maka bunuh lah Dia tapi jangan dianiaya. Sebelum ajal Imam Ali tidak menyebutkan nama pengganti dirinya, Ia hanya memberikan nasehat kepada anak-anaknya. Akhirnya Ali bin Abi Thalib pun meninggal pada tanggal 20 Ramadhan 40 H. 661 M. 24 Januari, gugur pada syahid pada usia 63 tahun. Jenaah Al dimandikan oleh Hasan dan Husain. Dengan meningganya Ali bin Abi Thalib maka berakhir pulalah masa al-Khulafua’ ar-Rasyidun ,yang berlangsung selama 30 tahun. Mengenai tempat pemakaman Ali bin Abi Thalib sebenarnya masih sangat rahaia, sebab khawatir akan diganggu oleh pihak Khawarij. Namun dari berbagai pendapat yang berbeda tentang letak pemakaman Ali. Menurut kalangan Syi’ah mereka meyakini kalau makam Ali bin Abi Thalib ada di Najaf, Irak selatan tempat ini dikenal dengan kompleks Imam Ali, dan disina pula terdapat Masjid Imam Ali yang ter besar dikota ini.[14] BAB III PENUTUP Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintah kurang lebih lima tahun 35-40 H/ 656-661 M. Berakhirnya kekhalifahan Ali berakhir pula masa kepemimpinan para khalifah yang cerdas, khulafa’urrasyidin yang empat, dengan sistem pemerintahan yang demokratis, yang pada waktu itu sulit mencari padanannya di wilayah manapun. Setelah itu, umat Islam mengalami perubahan dan perbedaan dalam sistem politik kenegaraannya, dari sistem pemerintahan yang berdasarkan syura’, berubah menjadi bentuk pemimpin yang tidak dipilih, tetapi berdasarkan penunjukkan yang secara turun menurun bani/dinasti atau berbentuk kerajaan. Di bidang pemahaman keagamaan juga muncul berbagai aliran madzhab/sekte yang bermula timbul dari respon terhadap berbagai peristiwa di akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Bagaimanapun mereka para generasi awal Islam, khususnya para khalifah yang empat adalah orang-orang yang mempunyai kredibelitas dan integritas pribadinya, serta loyalitas dan kontribusinya pada Islam tidak perlu diragukan lagi. Jika seandainya mereka lepas dari kekurangan, maka bagaimana kita menerangkan bagaimana berbagai peristiwa pembunuhan dan peperangan sahabat Nabi sendiri, selang hanya beberapa tahun saja dari wafatnya Beliau. Padahal peperangan itu banyak melibatkan sahabat besar, seperti Ali, Aisyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Saran saya kepada para pembaca baik Dosen, Mahasasiswa maupun masayarakat umum agar dapat lebih kritis dalam membaca makalah ini dan dapat memberikan kritikan yang membangun guna untuk memperbaiki kecacatan dalam pembuatan makalah ini dan harapan saya agar para pembaca dapat mengambil pelajaran dari makalah Sejarah Peradaban Islam ini. DAFTAR PUSTAKA Al-Atsir, Ibnu. 1979. Al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid III. Beirut Dar al-Fikr. Al-Muhdhor, Yunus Ali. 1992. Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib Semarang Asy-Syifa. Audah, Ali. 2009. Ali bin Abi Thalib. Jakarta Pustaka Litera AntarNusa. As-Suyuthi, Jalaluddin. 2000. Tarikh al-Khulafa’. Mekkah Mukarramah Maktabah Nizar Musthafa al-Baz. Hudgson, Marshal GS. 1999. The Venture of Islam, Imam dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, buku pertama terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta Paramadina. Mursi, Muhammad Sa’id. 2008. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta Pustaka Al-Kautsar. Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta UI Pres. Syalabi, Ahmad. 2007. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta Pustaka Al-Husna Baru. Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Raja Grafindo. Ali Audah. 2008. Ali bin Abi Thalib Sampai kepada Hasan dan Husain. Bogor PT. Litera Antarnusa [1] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam sepanjang sejarah, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 20. [2] A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta Pustaka Al-Husna Baru, 2007, hlm. 243 [3] Abbas Mahmud al-Akkad, Ketakwaan Khalifah Ali bin Abi Thalib terj. Bustami A. Gani dan zainal Abidin Ahmad, Jakarta Bulan bintang, 1979, hlm. 45-46. [4] Basuki, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta Depag, 1999, hlm. 84. [5] Yunus Ali Al-Muhdhor, Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib Semarang Asy-Syifa, 1992, hlm. 594. [6] A. Syalabi, hlm. 248-252. [7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta Raja Grafindo, 2010, hlm. 39-40. [8] A. Syalabi, hlm. 252-256. [9] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Jakarta Pustaka Litera AntarNusa, 2009, hlm. 257. [10] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta UI Pres, 1986, hlm. 6. [11] Ahmad Syalabi, hlm. 306-307 [12] Harun Nasution, hlm. 7 [13] Marshal GS. Hudgson, The Venture of Islam, Imam dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, buku pertama terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta Paramadina, 1999, hlm. 312 [14] Ali Audah. 2008. Ali bin Abi Thalib Sampai kepada Hasan dan Husain. Bogor PT. Litera Antarnusa, hlm 335-341

makalah ali bin abi thalib